Selamatkan Nasib Nelayan Aceh

Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI Hambali Hanafiah, melontarkan sinyal keprihatinan terhadap masih maraknya aksi penjarahan hasil laut negeri ini oleh nelayan asing, termasuk di Aceh. Menurut Panglima, kondisi riil lautan di sebagian lingkar pulau di Aceh yang tenang membuat aksi penjarahan hasil laut–terutama ikan–itu makin merajalela.

Sebuah sinyal yang kembali mengingatkan kita betapa kita tidak bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri, dalam hal eksploitasi hasil lautan yang bernama ikan. Nelayan Aceh hanya bagian kecil dari eksploator hasil laut di Aceh. Bagian besar justru dari pihak pihak luar Aceh, baik itu dari dalam negeri, maupun dari luar negeri.

Mereka memiliki rangkaian teknologi yang jauh memadai dibanding nelayan lokal yang hanya memiliki teknologi serta perangkat seadanya. Salah satu konsideran dari kenyataan itu adalah karena potensi hasil laut Aceh yang masih melimpah. Seperti diketahui, akumulasi alat tangkap ikan terutama Thailand kini jauh melampaui daya potensi ikan di perairan negeri gajah putih itu. Konsekuensinya, mereka melakukan ekspansi–umumnya secara ilegal–wilayah penangkapan. Salah satunya adalah perairan Aceh.

Namun -petarung laut- itu bukan hanya dari Thailand, Birma atau Malaysia sekalipun, tapi juga para nelayan dari dalam negeri di luar Aceh, terutama dari Sumut. Dengan piranti teknologi yang sangat canggih, hingga detektor ikan via satelit, serta piranti pendukung lainnya, para nelayan dari luar negeri itu, dengan mudah menjarah hasil ikan perairan Aceh. Mereka bisa menyusup kapan saja, dengan pola hit and run. Masuk dan lari dengan mencuri curi. Hasilnya bukan hanya ikan, tapi biota laut bisa menjadi hancur dan punah.

Para penjarah itu bergerak seiring musim migrasi ikan di Aceh. Kadang mereka mengerubuti  kawasan lintas timur, tapi tak jarang mereka juga menjarah secara besar-besaran di wilayah barat-selatan.  Kita setuju dengan pernyataan Kepala Riset dan Media, T Mustakim, kepada harian ini, edisi kemarin, yang menyatakan, minimnya armada pengawasan laut oleh pihak terkait di perairan Aceh, membuat aksi penjarahan ikan itu makin leluasa saja.

Padahal sejak era sembilanpuluhan, aksi penjarahan hasil laut Aceh oleh nelayan asing telah berlangsung. Harian ini mencatat, perang bom molotov hingga aksi pembakaran boat asing pernah melibatkan nelayan Aceh Barat dengan nelayan Thailand yang belakangan terungkap mempersenjatai diri dengan senapan serbu seperti jenis AK-47.

Beberapa waktu lalu, warga sepanjang pesisir Nagan Raya dihebohkan dengan ratuan ribu ikan yang mati dan membusuk di sepanjang garis pantai. Semua itu akibat aksi penjarah ikan yang mencampakkan begitu saja ikan kecil yang mereka tangkap. Salah satu alternatif meminimalisir aksi penjarahan ikan itu adalah meningkatkan pengawasan di laut dengan menambah armada Pol Air. Karena sejauh ini tak semua kawasan terdapat Pos Pol Air. Kerja sama semua pihak juga sangat perlu, yakni antara nelayan, Pol Air, TNI AL, dan Panglima Laot.

Yang terasa lebih urgen adalah berharap agar Mabes TNI mengembalikan status pengawasan dari Lanal Sibolga ke Lanal Sabang. Dengan demikian akan menutup celah kolaborasi para para petualang hasil laut, dalam menjarah potensi perairan Aceh. Kita tak berharap justru nelayan itu sendiri tampil di garda depan dalam menindak para penjarah yang notabene lebih tangguh dalam melobi. Kita tak ingin membenturkan nelayan lokal yang laeh dengan para petualang laut yang kadang siap dengan segalanya, termasuk senjata sekalipun. Di sisi lain, kita juga tak ingin potensi melimpah laut Aceh, dinikmati oleh para penjarah yang notabene tidak memiliki hak serta legalitas sedikitpun untuk mengeksploitirnya. Karenanya kita berharap sinyal atau imbauan Pangdam Hambali Hanafiah soal perairan Aceh itu ditanggapi semua pihak. Mari kita selamatkan nasib nelayan lokal. (Serambi Indonesia)

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel. Tandai permalink.