ADA yang tanya; “Apakah karena menjadi nelayan lalu miskin ataukah karena miskin lalu menjadi nelayan?” Juga ada pameo, nelayan itu identik dengan kemiskinan. Benarkah? Apa pun jawabannya, yang pasti hingga kini masyarakat nelayan memang belum dapat keluar dari lingkaran kemiskinan itu. Pengalaman menjajaki kawasan pesisir Aceh, kita mengamati bagaimana kegiatan nelayan mencari nafkah dengan mengandalkan laut dan pesisir sebagai lahannya. Kehidupan masyarakat seakan-akan berjalan secara sendiri-sendiri tanpa ada yang mengontrolnya. Larangan-larangan dan peraturan yang dulunya dipatuhi baik Peraturan Adat maupun Negara banyak yang melanggarnya.
Sebenarnya apa yang terjadi dalam masyarakat nelayan kita? Jawabnya, untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup. Sampai sekarang, masyarakat nelayan belum dapat melepas dirinya dari kemiskinan. Akibat pengaruh ini sehingga mereka harus memenuhi nafkahnya dengan cara yang mereka anggap lebih mudah untuk mendapatkan uang walaupun kerusakan ekosistem taruhannya.
Problema kemiskinan nelayan begitu rumit. Mahalnya peralatan untuk melaut seperti alat tangkap jaring, pancing dan pukat telah menjadikan sebagian besar pendapatannya digunakan untuk mendapatkan semua ini. Dan bukan hanya itu, tapi masih ada masalah lain seperti harga BBM yang membuat jam operasional kerja nelayan terbatas. Banyaknya program yang diluncurkan baik pemerintah, atau lewat BRR, LSM, dan lembaga lain, namun hanya target proyek. Tidak sepenuhnya memberi manfaat bagi masyarakat nelayan. Belum lagi proyek itu tanpa analisis kebutuhan, sehingga sering terjadi tumbang-tindih atau double proyek.
Para donatur tak pernah memperhitungkan apakah sudah sesuai dan punya manfaat positif serrta berkelanjutan atau tidak? Itu urusan nanti, yang penting ada proyek. Akibatnya, banyak dana yang dikucurkan, khususnya untuk pengelolaan laut, menguap begitu saja selebihnya mubazir. Para pialang proyek itu, menilai berhasil jika program mereka mulus dan dibuktikan dengan “tanda-tangan” bahwa sudah diterima kelompok sasaran, lalu dibuay serimoni sambil berjabat tangan, namun manfaatnya “nol besar”. Artinya semua bentuk bantuan yang diterima banyak yang tidak dapat digunakan. Dalihnya, karena bantuan yang diterima tidak lengkap, ada yang menerima perahu/boatnya saja tetapi tidak menerima pukat/alat tangkap, akhirnya nelayan melelang dengan harga cukup untuk makan.
Itulah kondisi obyektif selama ini. Mental kita seperti juga mental sebagian besar nelayan kita yang menerima bantuan, jika bantuan itu sedikit cacat atau pun mereng sedikit, bukan diperbaiki justru ditekan agar mereng dan cacatnya semakin besar. Sebaliknya jika kita berikan dalam kondisi sangat baik, justru mereka jual. Dalihnya tidak dapat dioperasionalkan karena sarana dan prasarana yang diberikan tersebut tidak layak pakai. Atau dijual karena tidak mampu memenuhi biaya operasional.
Dari fakta lapangan, maka harus diakui bahwa proyek rehab rekon sektor perikanan yang sudah berjalan selama ini, belum berhasil. Mengapa? Dan siapa yang salah? Ini pertanyaan yang mesti kita cari solusi. Hasil pengamatan saya di lapangan, begitu banyak persoalan masyarakat nelayan saat ini belum ditangani serius.
Keluhan nelayan umumnya berkisar tentang janji-janji yang tidak ditepati oleh LSM-LSM dan Lembaga-lembaga lain termasuk lembaga pemerintah, masih kurangnya atau tidak sesuainya alat tangkap yang diberikan, dangkalnya kuala karena tumpukan lumpur dan abrasi yang menyulitkan untuk pergi melaut, tidak tersedianya es untuk pengawaetan ikan, tidak berfungsinya pabrik es yang sudah dibangun oleh NGO-NGO akibat tidak lengkapnya onderdil sewaktu diberikan, juga mahalnya biaya operasional, tidak berfungsinya PPI dan TPI, rendahnya harga ikan dan ketidaktersediaan sumberdaya modal kerja dan sumberdaya manusia.
Permasalahannya begitu kompleks, terutama berkait dengan minusnya produksi mereka melaut. Tidak seperti biasanya apalagi dibandingkan dengan 15 atau 20 tahun lalu. Setiap nelayan turun ke laut umumnya mereka pasti akan membawa hasil tangkapannya. Namun, tidak demikian dalam beberapa tahun ini. Mereka sulut menemukan kerumunan ikan dan sarang-sarang ikan. Hasilnya glah ke Jengek, sementara sebelum melaut mereka sudah berhutang pada toke bangku yang harus dilunasi.
Era tahun 70-an, ketika nelayan ingin menangkap ikan untuk keperluan sehari-hari (sekitar 2-5 kg) maka mereka cukup menangkap di sekitar perairan pesisir dan atau di sekitar hutan mangrove. Sekarang untuk mendapat ikan dengan jumlah yang sama, mereka harus berlayar beberapa mil ke laut lepas. Itupun belum tentu mendapatkan ikan seperti yang diharapkan (Indra, 2007).
Hukum ekonomi sejak dahulu selalu menghantui nelayan, artinya bila hasil tangkapan yang diperoleh melimpah maka harga ikan pasti akan menurun. Kondisi ini tersebab beberapa hal, di antaranya tidak adanya fasilitas untuk penyimpanan ikan dan pengawetan ikan yang memadai. Jangan heran bila kita melihat banyak hasil tangkapan dibuang kembali kelaut pada musim-musim tertentu. Begitupun pada saat hasil tangkapan menurun harga ikan melambung. Ironinua, hasil penjualan ikan belum mampu menyimbangi pengeluaran untuk biaya operasional selama melaut. Belum lagi terjadi pemotongan-pemotongan persen oleh toke bangku dan piutang tahunan, bulan dan minggu-minggu yang lalu.
Kondisi nelayan seperti ini semakin hari, bulan dan tahun semakin tidak berubah. Bila masalah ini terus berlanjut kita menduga atau bertanya apa yang terjadi dengan nelayan kita pada suatu saat nanti? Mengapa ini bisa terjadi? Apakah ini semua karena factor sumberdaya manusianya, sumberdayadaya alam yang semakin mengecil karena pengaruh pukat trawl dan sejenisnya, pemboman ataupun karena fenomena alam seperti hilangnya hutan di hulu, hutan mangrove dan hutan pantai baik akibat smong (tsunami)? Atau pun kerena pengrusakan oleh manusia sendiri atau pengaruh dari kebijakan-kebijakan pemerintah pusat sehingga Dinas Kelautan dan Perikanan selaku instansi yang terlibat langsung terbatas dalam melaksanakan fungsi dan perannya selama ini. Itu satu ironi kehidupan masyarakat pesisir dan nelayan di Aceh. Mereka masih hidup miskin dan melarat di tengah kekayaan potensi sumberdaya perikanan yang ada di sekitarnya.
* Miftachhuddin Cut Adek, SE, M.Si
Penulis adalah Waksekjen Panglima Laot Aceh, Sekretaris HNSI Aceh.