Sejarah

Panglima Laot merupakan suatu institusi Adat yang mengatur tentang tata cara meupayang/penangkapan ikan di laut. Panglima Laot selain sebagai institusi juga sebagai seorang ketua lembaga itu sehingga orang menyebut mereka sebagai Panglima Laot.

Menurut sejarahnya panglima laot telah ada sejak 400 tahun yang lalu, yaitu pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang memerintah kerajaan Islam Aceh. Saat itu Panglima Laot bertugas, pertama, memungut cukai pada kapal-kapal yang singgah di pelabuhan dan kedua, memobilisasi rakyat terutama nelayan untuk berperang.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 dimana kerajaan sudah dileburkan kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, tugas panglima laot mulai bergeser menjadi mengatur tata cara penangkapan ikan di laut, bagi hasil dan tata cara penyelesaian sengketa jika terjadi pelanggaran dilaut. Tetapi dari masa itu sampai dengan tahun 1982, panglima laot masih berdiri secara sendiri-sendiri sesuai dengan wilayah masing-masing, baik di desa, mukim ataupun kecamatan atau dikenal dengan Panglima Laot Lhok/kuala/dermaga tempat boat di tambat. Saat itu panglima laot belum begitu dikenal oleh orang banyak.

Tahun 1982, di Kota Langsa, Aceh, di gelar suatu pertemuan antar panglima laot lhok se Aceh. Pertemuan ini kemudian menyetujui pembentukan Panglima Laot kabupaten. Panglima laot kabupaten diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa nelayan yang terjadi antar 2 panglima laot lhok yang tidak dapat diselesaikan oleh panglima laot lhok tetapi bukan sifatnya banding seperti pengadilan biasanya.

Pada tahun 2000, di Banda Aceh dan Sabang dilaksanakan pertemuan serupa. Pertemuan-pertemuan itu menyepakati ada satu Panglima Laot lagi di tingkat provinsi. Maka dibentuklah Panglima Laot Aceh. Sejak di bentuk, panglima laot Aceh diberi tugas untuk mengkoordinasikan hukum adat laot, menjembatani kepentingan nelayan dengan pemerintah dan mengadvokasi kebijakan kelautan dan perikanan termasuk advokasi hukum dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat nelayan Aceh termasuk bagi nelayan yang terdampar.

Pasca tsunami 24 Desember 2004, tahun 2006 panglima laot mendapat pengakuan Undang-undang No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (pasal 98 – 99 dan pasal 162 ayat (2) huruf e), kemudian Undang-undang tersebut dijabarkan kedalam Qanun Aceh No. 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh No. 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Pada tahun yang sama panglima laot diterima menjadi anggota World fisher forum people (WFFP) pada tahun 2008.