Teungku “Waki” Nelayan Aceh

Oleh : Miftachhuddin Cut Adek, SE, M.Si

Dilantiknya anggota legislatif (DPR) se-Aceh, mengingatkan saya tentang pengalaman kecil Christ Grose, seorang teman dari Inggris yang beberapa bulan lalu jadi konsultan perikanan FAO-Aceh. Ceritanya, ketika mengunjungi tempat pelelangan ikan terbesar di satu kota kecil di Jepang, terlihat fenomena menarik. Di dinding tempat perlelangan ikan itu terpampang satu foto ukuran besar yang di bawahnya ditulis slogan. “Siapa dia?”, tanya Christ. Para nelayan Jepang itu menjawab dengan bangga, “itu wakil kami di parlemen”.

Ternyata bukan foto bupati/walikota, Gubernur, atau Presiden yang terpampang, tapi foto wakil rakyat. Ternyata wakil rakyat begitu pentingnya bagi nelayan. Merekalah tumpuan nasib nelayan Jepang. Sehingga, pemilu bagi nelayan Jepang bukanlah untuk sekedar larut dalam mobilisasi massa, melainkan momen untuk mempertaruhkan masa depannya. Karena itu pulalah nelayan sungguh-sungguh dalam memilih. Begitu pula sebaliknya, sang wakil rakyat sungguh-sungguh memperjuangkan kepentingan nelayan.

Interaksi nelayan dan wakil rakyat seperti itu terjadi karena sudah ada kontrak sosial. Trust antara nelayan dan wakil rakyat telah melekat. Namun, ikatan ini ternyata tidak sekedar ikatan instrumental, yang serba memanfaatkan kepentingan kedua belah pihak. Tapi, juga ikatan moral yang bersumber pada konstruksi sosial mereka tentang makna laut. Ada kesadaran bersama bahwa makna laut tidaklah sekedar hamparan laut, tapi juga budaya.

Tidak seperti halnya ditempat kita, pengelolaan sumberdaya perikanan di Jepang semua diurus melalui koperasi. Koperasi nelayan memiliki otoritas yang sangat besar dalam mengurus perikanan lokal. Sistem fishery right-yang berasal dari tradisi masa lalu– masih terus digunakan karena dianggap paling cocok dengan kultur masyarakatnya. Dan, politik pun mendukungnya. Jadi, dukungan politik kepada nelayan merupakan bagian politik mempertahankan identitas. Nelayan tidak dilihat sebagai status ekonomi semata, melainkan status budaya bahwa nelayan sebagai way of life.

Perjuangan wakil rakyat di parlemen Jepang tersebut tercapai dengan berhasilnya mereka dalam memperjuangkan anggaran untuk menciptakan perikanan yang berkelanjutan yang sesuai dengan potensi daerah masing-masing, terutama menyangkut alat tangkap, perumahan nelayan, pendidikan dan kesehatan nelayan.

Bagaimana dengan kita?
Sebenarnya, secara fisik Aceh hampir mirip dengan Jepang, yakni punya laut disekelilingnya. Secara budaya, meski sebenarnya relatif mirip, namun karena pengaruh kebijakan selama ini perhatian pemerintah dari sisi budaya dan ekonomi lebih kearah pro-darat, diprediksikan budaya melaut rakyat Aceh makin lama akan pudar. Simbol-simbol budaya seperti institusi lokal di pesisir belum mendapatkan perhatian maksimal walaupun sudah diqanunkan. Hak-hak ureung meulaot atas penguasaan sumberdaya laut tidak jelas. Nelayan pun menjadi tamu di lautnya sendiri. Dan, pada gilirannya kemiskinan tetap terpelihara tanpa ada usaha untuk menciutkannya.

Jadi, kurangnya perhatian terhadap laut dan lebih beorientasi ke daratan telah mempengaruhi proses politik yang akhirnya meminggirkan sektor kelautan dan perikanan. Nelayan tetap dalam posisi the poor of the poorest. Artinya, keyakinan terhadap laut sebagai masa depan ekonomi rakyat Aceh belum diiringi dengan totalitas kebijakan intersektoral yang pro-nelayan. Sebagai kelompok kepentingan (interest group), nelayan masih belum diperhitungkan.

Persoalan lain, meskipun pemerintah Aceh mulai memperhatikan eksistensi sektor Kelautan dan Perikanan, akan tetapiwakie politik kita belum sepenuhnya mendukungnya. Kasus terdamparnya nelayan Aceh ke Negara lain, rumitnya mendapatkan izin dan mahalnya biaya yang dikeluarkan nelayan untuk mendapatkan izin berlayar dan izin penangkapan ikan yang tanpa advokasi secara baik dari kalangan politisi atau Teungku Wakie merupakan buktinya.

Ini bukti bahwa baik ikatan instrumen maupun moral antara nelayan dengan Teungku Wakie belum terjalin. Pemilu masih berupa mobilisasi massa. Dan, hanya ikatan primordial yang menjadi dasar ikatan nelayan dengan partai politik, khususnya ikatan ideologis (agamis, fanatisme golongan atau nasionalis), yang ternyata tak berdampak signifikan dalam memperjuangkan nasib nelayan.

Rasionalitas politik nelayan belum menemukan bentuknya. Padahal rasionalitas ini merupakan basis bagi ikatan instrumental. Kesamaan visi (vision) tentang laut antara nelayan dan Teungku Wakie belum terbangun. Padahal ini dasar kekuatan ikatan moral. Visi kelautan dan perikanan Teungku Wakie kita selama ini memang sangat minim. Sektor kelautan dan perikanan masih dimaknai hanya sebagai sektor ekonomi dalam arti yang sangat sempit. Yakni, sektor yang harus memberikan sumbangan pendapatan daerah. Mereka menuntut bahwa Pemasukan dari sektor Perikanan harus ditingkatkan tanpa peningkatan dukungan anggaran yang sesuai dengan potensi daerah.

Mereka tak pernah memikirkan efek simultan dari pembangunan Kelautan dan Perikanan, seperti meluasnya lapangan kerja, meningkatnya produksi yang berdampak pada meningkatnya ekspor, berkembangnya kultur dan adat meulaot, dan lain sebagainya. Kondisi wakil rakyat yang seperti itu sangat mengancam eksistensi sektor Kelautan dan Perikanan, dan pada gilirannya juga mengancam kelangsungan hidup nelayan.

Bagaimana pun dukungan politik untuk kemajuan sektor kelautan dan perikanan serta peningkatan kesejahteraan nelayan sangatlah mutlak. Kita belum tahu persis bagaimana komitmen politik Teungku Wakie yang baru dilantik di Aceh. Mampukah mereka menciptakan ruang komunikasi antara nelayan dan wakil rakyat untuk menyamakan persepsi tentang makna peujroh laot yang tidak semata berdimensi ekonomi, tetapi juga ekologi, sosial budaya dan politik.

Di sinilah peran civil society (pers, LSM, akademisi, kaum profesional) penting dalam membangun wacana dan kesadaran bersama tentang pengelolaan perikanan. Sehingga, citra ureung meulaot sebagai the poorest of the poors dapat segera berakhir. Perlu dorongan Teungku Wakie untuk dapat melakukan advokasi atas berbagai kasus yang menimpa nelayan. Kasus terdamparnya nelayan di India, Thailand, Myanmar, Srilangka, Malaysia dan pemanfatan nelayan untuk proyek pribadi yang merugikan nelayan merupakan kasus aktual yang selama ini masih absen dari agenda Teungku Wakie. Namun, semoga Teungku Wakie yang baru dilantik ini memiliki nyali lebih untuk melakukan perubahan-perubahan yang pro-rreung meulaot, meuneheun, muge dan toke bangku. (Hr Serambi Indonesia)

Tulisan ini dipublikasikan di Artikel. Tandai permalink.